Berikut ini opini sekaligus analisis mengenai dampak kenaikan harga kedelai yang memicu kenaikan harga tahu dan tempe. Opini atau analisisi ini dari Dr Hempri Suyatna (Dosen Jurusan llmu Pembangunan Sosial dan Kesejahteraan Fisipol UGM) yang dimuat di Kedaulatan Rakyat 2012/07/26 dengan judul Krisis Tahu-Tempe.
Krisis Tahu-Tempe
Berita mengenai ancaman gulung tikarnya beberapa perajin tahu dan tempe kembali menyeruak. Fakta yang terjadi saat ini benar-benar menunjukkan bahwa ancaman tersebut benar-benar dapat terjadi. Di beberapa daerah, banyak perajin tempe tahu telah menghentikan proses produksinya akibat tingginya harga bahan baku kedelai. Ancaman mogok produksi juga dilakukan oleh beberapa perajin tahu dan tempe yang tergabung dalam Gabungan Koperasi Produsen Tempe Tahu Indonesia (Gakoptindo). Memang, masih banyak juga para perajin tempe dan tahu yang tetap bertahan dengan melakukan berbagai strategi agar mereka eksis. Hal ini misalnya dilakukan dengan memperkecil ukuran dan volume tahu-tempe (KR, 25/7/2012). Namun dengan harga kedelai yang terus melambung, dikhawatirkan strategi tersebut tidak akan bertahan lama. Implikasi lebih jauh, akan terjadi krisis tahu dan tempe karena produk ini akan menghilang dari pasaran.
Meningkatnya harga kedelai memang menjadi pemicu utama persoalan tersebut. Dari data Badan Pengawas Perdagangan Berjangka Komoditi dan Kementerian Perindustrian Rl, harga kedelai meningkat secara kontinyu sejak dari bulan Januari-Juli 2012. Pada bulan Januari harga kedelai per kilogram masih Rp 5.571 namun pada awal bulan Juli sudah mencapai Rp 7.400. Bahkan di pasaran harga kedelai saat ini sudah mencapai Rp 8.000 – Rp 8.500. Sangat mungkin, harga kedelai ini akan terns naik jika tidak ada langkah cepat yang dilakukan oleh pemerintah. Dalam jangka pendek, memang tidak ada kata lain ketika pemerintah harus melakukan intervensi pasar dengan melakukan berbagai cara misalnya dengan melakukan pengurangan atau pembebasan bea impor masuk kedelai, perbaikan tata niaga kedelai dengan melakukan operasi gudang-gudang penimbunan kcdolai, permainan harga dan sebagainya. Strategi tersebut harus ditempuh agar harga kedelai tersebut dapat normal kembali di pasaran dan pelaku usaha dapat memproduksi kembali usaha mereka.
Kenaikan harga kedelai saat ini sebenarnya menjadi bukti bagaimana rapuhnya ketahanan pangan khususnya produk kedelai di dalam negeri. Anomali cuaca yang terjadi di Amerika Latin seperti di Argentina dan Brazil telah memicu indeks kedelai dunia meningkat tajam dan akhimya berimbas kepada harga kedelai di dalam negeri yang melambung cukup tinggi. Ketergantungan impor kedelai Indonesia dari luar negeri dan ketidakmampuan pemerintah dalam menyediakan stok produksi dalam negeri menyebabkan harga kedelai meningkat cukup tajam. Sebagai catatan, pada tahun 2011 dari kebutuhan kedelai nasional sebesar 2,2 juta ton, 1,6 juta ton berasal dari impor luar negeri. Ini tentunya sangat ironis bagi negara agraris seperti Indonesia.
Kejadian naiknya harga kedelai ini sebenarnya sudah beberapa kali terjadi. Terakhir misalnya terjadi pada awal tahun 2011, dimana lebih dari 5.000 perajin dari 115.000 perajin tahu-tempe di Indonesia mengalami kebangkrutan akibat mahalnya harga kedelai. Namun sayangnya, strategi untuk mengatasi permasalahan tersebut cenderung berorientasi pada kepentingan jangka pendek dan bersifat pemadam kebakaran saja. Setelah harga kedelai berhasil dinormalkan, terlihat kurang ada langkah nyata pasca itu. Memang ada rencana strategi jangka panjang, akan tetapi strategi tersebut terkesan tidak dikawal secara intens. Target swasembada kedelai tahun 2014 terkesan juga kurang dikawal secara baik dan masih jauh dari ke-nyataan. Realitas yang ada menunjukkan de-mikian. Produksi kedelai dalam kurun waktu Januari-Maret 2012 hanya 194.088 ton. Jumlah ini masih sekitar 10% dari target Kementerian Pertanian yakni 1,9 juta ton di tahun 2012. Tahun 2011, realisasi produksi kedelai juga rendah karena hanya mencapai 843.838 ton dari target yang dite-tapkan oleh pemerintah sebesar 1,56 juta ton.
Fakta tersebut menunjukkan bahwa target swasembada kedelai tampaknya akan sangat sulit direalisir. Meskipun kelihatannya target tersebut sulit untuk dicapai, akan tetapi dalam waktu tersisa sebelum pencapaian target tersebut, perlu langkah ekstra keras yang perlu dilakukan pemerintah. Pemanfaatan lahan hutan milik Perhutani untuk budidaya kedelai sebenarnya pernah dilontarkan Menteri Pertanian Suswono. Potensi lahan dari kawasan hutan yang dapat dimanfaatkan untuk bu-didaya kedelai sekitar 80.000 hektare Jika ini benar-benar terealisir maka mimpi swasembada kedelai bukan sekadar ilusi.
Pemerintah harus mampu membuat daya tarik budidaya kedelai bagi petani sehingga petani tidak beralih menanam produk pertanian ke sektor lain seperti jagung dan tanaman palawija lain. Selama ini, para petani cenderung kurang serius dalam membudidayakan kedelai karena dianggap prospeknya kurang cerah. Hal yang harus dipahami sebagai prinsip bahwa selama kita belum bisa mampu melakukan swasembada kedelai maka selama itu pula lah perajian tempe dan tahu akan selalu tergantung pada gejolak ekonomi di dunia.
Dampak Kenaikan Harga Kedelai
Label: argentina, brazil, budidaya kedelai, harga kedelai, impor kedelai, kebutuhan kedelai nasional, kedelai, ketahanan pangan, perajin tempe, produksi, swasembada kedelai, tahu, tempe